Rabu, 13 April 2016

OSEANOGRAFI FISIKA



TSUNAMI

KONDISI TERUMBU KARANG DI KABUPATEN NIAS DAN KABUPATEN SIMEULUE PASCA SATU TAHUN MEGA TSUNAMI 2004


Kelompok XII (Dua Belas)


Ketua  :
Worken Paulian Malau  (E1I014006)

Anggota :
1.   Heti Lesmiana         (E1I014036)
2.   Feggy Asri Lestari (E1I014051)

Dosen pengampuh :
Yar Johan, S.Pi, M.Si

 



ILMU KELAUTAN
JURUSAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016




PENDAHULUAN
Kondisi terumbu karang di kabupaten nias dan kabupaten simeulue pasca satu tahun mega tsunami 2004, yang melatar belakangi penulis dalam melakukan penelitianya adalah dampak dari  Bencana tsunami yang terjadi pada akhir 2004 di bagian barat pulau Sumatera selain menghancurkan kehidupan masyarakat juga membawa bencana bagi kehidupan pantai dan laut.
Tsunami adalah gelombang air yang sangat besar yang dibangkitkan oleh macam-macam gangguan di dasar samudra. Gangguan ini dapat berupa gempa bumi, pergeseran lempeng, atau gunung meletus. Tsunami juga dapat dipicu oleh bermacam-macam gangguan (disturbance) berskala besar terhadap air laut, misalnya gempa bumi, pergeseran lempeng, meletusnya gunung berapi di bawah laut, atau tumbukan benda langit. Tsunami dapat terjadi apabila dasar laut bergerak secara tiba-tiba dan mengalami perpindahan vertikal.
Hal ini tentunya telah membawa dampak yang buruk terhadap ekosistem pesisir yaitu lamun, mangrove dan terumbu karang. Penulis melakukan penelitian berdasarkan Hasil Ekspedisi Zooxanthellae VII bahwa saat sebelum tsunami melaporkan  tingkat penutupan karang hidup di Pulau Weh berada pada tingkatan sedang. Bahkan tutupan karang di beberapa tempat mencapai 75 % atau pada tingkat baik sekali (Estradivari, 2005). Pengamatan visual juga dilakukan oleh Lembaga Fauna dan Flora Internasional (FFI) pasca tsunami mendapatkan bahwa terumbu karang yang rusak karena tsunami lebih banyak berada di kedalaman 3 m. Karena tsunami, kondisi kecerahan menurun dan banyak terdapat retakan karang, karang terbalik dan hancurnya kondisi pantai. Lebih lanjut 60% lahan mangrove di Pulau Weh hancur total dari total luasan mangrove 74 ha. Hasil survei yang dilakukan oleh Baird et al.   (2005) menyimpulkan bahwa pengaruh gempa pada 26 Desember 2006 terlihat jelas di bagian timur laut Pulau Simeulue sedangkan di bagian utara Aceh tidak tidak terlihat adanya pengaruh. Jadi, Dalam rangka program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan Sumatra Utara pasca tsunami dan gempa bumi sebagai bagian dari kegiatan COREMAP II maka penulis melakukan kegiatan pengkajian kondisi ekologis melalui Rapid Resources Assesment (RRA).

TUJUAN
Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi geomorfologi dan ekosistem pantai termasuk terumbu karang pasca satu tahun bencana tsunami.   Diharapkan,   data   yang   tersedia   dapat menjadi masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan program rehabilitasi serta pemberdayaan masyarakat pesisir.




METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pengkajian terhadap dua lokasi yakni di daerah terumbu karang di Pulau Nias (Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Nias) dan Pulau Simeulue (Kabupaten Simeulue) yang diprediksi mengalami perubahan pasca bencana alam tsunami dan gempa bumi pada akhir 2004 sampai dengan awal 2005 (Lihat Gambar 1 dan 2).
 
 
Gambar 1. Stasiun penelitian di kawasan perairan Estuari Kapuas Kecil, Kalimantan Barat
(KB1: Stasiun penelitian Kalimantan Barat).

 
Gambar 2. Lokasi Penelitian di Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam.


Adapun langkah-langkahnya dalam menentukan lokasi yakni Pada tahap pertama, lokasi dipilih berdasarkan atas informasi kebutuhan dari masing-masing kabupaten yang ada serta jumlah waktu survei yang tersedia. Selanjutnya di setiap wilayah yang dipilih, ditentukan posisi titik-titik sampling dengan menggunakan peta wilayah NKRI baku (peta indopul) (sumber Peta: Bakosurtanal & BRKP, 2003) dan citra Landsat (format geotiff) yang tersedia. Koordinat titik- titik   tersebut   kemudian   dicatat.   Penentuan   titik sampling ini dilakukan secara acak namun demikian diharapkan bisa memberikan gambaran yang cukup mewakili. Dalam penelitianya ini penulis melakukan  penentuan titik sampling secara acak sehingga gambaran yang dihasilkan hanya mewakili sedikit dari beberapa lokasi. Berdasarkan jurnal dadan referensi lainya yang kami dapatkan mengenai akibat dari tsunami biasanya penulis menentukan titik sampling pada beberapa lokasi dan stasiun yang berbeda serta banyak stasiun yang dilakukan pengambilan titik sampling sehingga bisa didapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai kondisi diwilayah perairan yang dilakukan pengambilan sampling dan data yang didapatkan lebih banyak. Hadikusumah (2011) penelitian oseanografi fisika telah dilakukan dimulai dari selat malaka sampai samudera hindia dibagian barat provinsi nangro aceh darussalam (NAD) pada akhir musim tenggara dan awal musim peraliahan kedua (agustus sampai september 2006). Jumlah distasiun oseanografi sebanyak 29 stasiun.

Pengambilan Data

Survei terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode Rapid Resources Assessment (RRA) dan Line Intercept Transect (LIT) yang mengacu pada metode yang baku atau pernah dikerjakan dan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi lapangan terutama pada metode LIT (English et al., 1997). Dengan dua metode ini penulis dapat membandingkan hasil perolehan data yang didapatkan. Selain itu juga dilakukan pengukuran kondisi perairan berupa suhu, pH dan salinitas dengan menggunakan pengukur suhu, pH (Hanna Handheld) dan refraktometer.                Hal ini dapat membantu penulis dalam menganalisa hasil yang diperoleh dan dapat menyimpulkan kondisi perairan pasca bencana tsunami 2004.namun penulis tidak menyebutkan bahwa dalam penelitianya menggunakan dua data berupa data primer dan sekunder.
Didapatkan referensi bahwa pengukuran parameter meteorologi laut terdiri dari kecepatan dan arah angin, suhu udara, kelembapan relatif, dan tekanan udara dengan menggunakan meteorologi kit sistem aandera. Pengukuran suhu, salinitas, kecerahan, kekeruhan, klorofil A dan oksigen sekaligus direkam, dengan menggunakan CTD Model SBE911 pls. Kondisi parameter fisika tahun tersebut akan dibandingkan dengan tahun 1998 yakni pada 10-11 oktober (Hadikusumah, 2011). Dengan perbedaan parameter pengukuran dan alat yang digunakan maka tingkat ketepatan, kecepatan dan keakuratan data yang didapat berbeda.
Pada metode RRA, peneliti melakukan penyelaman pada permukaan selama kira-kira 5 menit untuk mengamati kondisi terumbu karang. Pada metode LIT digunakan garis transek sepanjang 20 m dengan pengulangan tiga kali. Dengan demikian yang diamati adalah kondisi substrat di transek horisontal pada posisi 0-20 m, 30-50 m dan 60-80 m. Pemilihan panjang transek dan jumlah pengulangan ini didasarkan pada kondisi substrat yang relatif homogen sehingga penggunaan transek yang lebih panjang dengan ulangan yang lebih banyak akan berpengaruh pada efisiensi waktu. Transek diletakkan pada kedalaman bervariasi antara 2 – 5 meter. Substrat dasar dikategorikan berdasarkan bentuk karang (LIFEFORM). Penggulangan ini dapat membantu penulis dalam keakuratan mendapatkan data penelitianya. Dalam kegiatan ini akan diperkenalkan dua metode yang umum dipakai yaitu, metode RRA sederhana (Metode Manta Tow ) Metode Transek garis (Line Intercept transect/LIT) merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi penutupan karang dan penutupan komunitas bentos yang hidup bersama karang. Metode ini cukup praktis, cepat dan sangat sesuai untuk wilayah terumbu karang di daerah tropis. Pengambilan data dilakukan pada umumnya di kedalaman 3 meter dan 10 meter, sehingga bagi tim kerja yang terlibat dalam metode ini sebaiknya memiliki keterampilan menyelam yang baik. Sedangkan Metode Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan cara pengamat di belakang perahu kecil bermesin dengan menggunakan tali sebagai penghubung antara perahu dengan pengamat. Dengan kecepatan perahu yang tetap dan melintas di atas terumbu karang dengan lama tarikan 2 menit, pengamat akan melihat beberapa obyek yang terlintas serta nilai persentase penutupan karang hidup (karang keras dan karang lunak) dan karang mati. Data yang diamati dicatat pada tabel data dengan menggunakan nilai kategori atau dengan nilai persentase bilangan bulat. Untuk tambahan informasi yang menunjang pengamatan ini, dapat pula diamati dan dicatat persen penutupan pasir dan patahan karang serta obyek lain (Kima, Diadema dan Acanthaster) yang terlihat dalam lintasan pengamatan.

Data yang didapatkan dari kedua metode ini kemudian  dianalisa  dengan  menggunakan  rumus sebagai berikut :

Prosentase Tutupan = Panjang total kategori  x 100 % Panjang Transek

Kriteria tutupan karang mengikuti (Gomez & Yap, 1988) seperti tertera dalam tabel 1.

Tabel 1. Persentase tutupan karang

Persentase penutupan      Kisaran(%)
0 – 24,9                              Buruk
25 – 49,9                            Sedang
50 – 74,9                            Baik
75 – 100                             Sangat baik


HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Terumbu Karang di Pulau Nias pada kategori buruk. Selaras dengan hasil RRA, hasil rata-rata pengukuran LIT di terumbu karang perairan Pulau Nias juga menggambarkan kondisi buruk (Gambar 5). Lokasi  pengamatan  meliputi  empat  (4)  lokasi di Pulau Nias yaitu Teluk Legundi bagian selatan, Sirombu bagian barat, Lahewa bagian barat-utara dan Sumabawa bagian selatan-timur (Gambar 1). Di pulau ini terjadi perubahan garis pantai baik secara horisontal (panjang rataan) maupun vertikal (pengangkatan) (Gambar 3). Perubahan panjang rataan (horisontal) di pulau ini sebesar 30 sampai 260 meter, sedangkan maksimum pengangkatan (vertikal), termasuk pengangkatan terumbu karang mencapai lebih dari 2 meter (PRWLSDNH, 2006).
Kondisi terumbu karang di pulau Pulau Simeulue meliputi lima (5) lokasi.  Lokasi-lokasi tersebut adalah Teluk Sinabang pada sisi selatan–timur Pulau Simeulue, Teluk Sibigo pada sisi timur, Teluk Dalam Alafan pada sisi barat-utara, Simeulue Tengah pada sisi barat dan Teupah pada sisi selatan-barat (Gambar 2). Dari 5 lokasi yang ada di Pulau Simeulue ini, didapatkan bahwa komponen karang mati yang ditumbuhi alga masih mendominasi lokasi survei dengan kisaran 25 – 55 %. Prosentasi komponen karang mati yang ditumbuhi alga berturut-turut adalah 25 % di Sinabang, 26,7 % di Teupah Selatan, 43 % di Sibigo, 48,8 % di Alafan dan yang tertinggi di Simeulue Tengah 55%. Komponen pasir yang cukup tinggi hanya terdapat di Sinabang (46,3%) dan Sibigo (25,4%) (Tabel3). Prosentasi Rubble yang cukup tinggi berturut-turut ada di Alafan (21,8%), Teupah Selatan (18,3%) dan Sibigo (13%).
Penulis membahas hasil yang didapatkan berdasarkan kedua pengamatan baik LIT dan RRA serta penulis juga memaparkan jenis terumbu karang apa saja yang diamati dan bagaimana kondisinya. Namun penulis tidak membandingkan kondisi terumbu karang saat sebelum dan sesudah pasca bencana tsunami. Penulis hanya memaparkan presentase hasil penelitianya.

KESIMPULAN
Penulis telah menarik kesimpulan dari tujuan penelitianyya dan penulis mendapatkan gambaran tentang kondisi geomorfologi dan ekosistem pantai termasuk terumbu karang pasca satu tahun bencana tsunami. Terry L. Kepel & M. Abrar (2011 ) menyatakan bahwa kejadian gempa dan tsunami memberikan pengaruh terhadap sebaran dan populasi karang terutama di sepanjang pesisir barat Pulau Nias dan Simeulue. Satu tahun setelah kejadian gempa dan tsunami di perairan Pulau Nias dan Simeulue kondisi sebagian besar terumbu karang (7 dari 9 lokasi) masih dalam kondisi buruk dengan kisaran prosentase sebesar   9,6      36,7%.   Terumbu   karang   dengan kondisi sedang hanya terdapat di 2 lokasi dari 9 lokasi penelitian yaitu Sumabawa di Nias sebesar 41,3% dan Teupah Selatan di Simeulue sebesar 36,7%. Namun demikian, terlihat adanya pemulihan terumbu karang secara  alami  melalui  peningkatan  tutupan  karang hidup dan penambahan populasi (rekruitmen) karang muda dalam ukuran relatif kecil (rata-rata 3-5 cm). Pemulihan kondisi ini secara umum didukung oleh kondisi perairan yang relatif baik dengan kisaran suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut yang sesuai untuk pertumbuhan karang serta kondisi dasar laut yang menyediakan subsrat yang cocok.
DAFTAR PUSTAKA

Baird, A, dkk. 2005. Acehnese Reefs In The Wake Of Asian Tsunami. Current Biology Vol.15

Estradivari, Susilo, N. & Yusri, S. 2005. Prosiding Inisiatif Bersama Untuk Peduli Penilaian Terumbu Karang Aceh Dan Sumatra Utara. The Indonesian Coral     reef Working Group (ICRWG).

Hadikusumah, lekalete J.D. 2013. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.       Kenaikan Lapisan Termoklin Di Perairan Nangro Aceh Darussalam  Akibat   Tsunami 2004. Vol. 3, No. 1, Hal. 115-133.

Kepel, T. L. & Abrar, M. 2013. Kondisi Terumbu Karang Di Kabupaten Nias Dan Kabupaten Simeulue Pasca Satu Tahun Mega Tsunami 2004. J.Segara Vol. 9 No. 1 Agustus 2013. Hal 13-21

PRWLSDNH. 2006. Pengkajian Kondisi Ekologi Dengan Rra Nias-  Simeulue . Laporan. Kerjasama   Antara   Satker   Rehabilitasi   Dan Pengelolaan Terumbu Karang. Direktorat Jendral Kelautan Pesisir dan      Pulau-  Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Pusat Riset       Wilayah Laut dan Sumberdaya   Non Hayati,  Badan  Riset  Kelautan dan  Perikanan Departemen  Kelautan dan Perikanan.