TSUNAMI
KONDISI TERUMBU KARANG DI KABUPATEN NIAS DAN KABUPATEN
SIMEULUE PASCA SATU TAHUN MEGA
TSUNAMI 2004
Kelompok XII (Dua Belas)
Ketua :
Worken Paulian Malau
(E1I014006)
Anggota :
1.
Heti Lesmiana (E1I014036)
2. Feggy Asri Lestari (E1I014051)
Dosen pengampuh :
Yar Johan, S.Pi, M.Si
ILMU KELAUTAN
JURUSAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016
PENDAHULUAN
Kondisi terumbu karang di kabupaten nias dan kabupaten
simeulue pasca satu tahun mega
tsunami 2004, yang melatar belakangi penulis dalam melakukan
penelitianya adalah dampak dari Bencana tsunami yang terjadi pada akhir 2004 di bagian barat pulau Sumatera selain menghancurkan kehidupan masyarakat juga
membawa bencana bagi kehidupan pantai dan laut.
Tsunami adalah gelombang air yang sangat besar yang
dibangkitkan oleh macam-macam gangguan di dasar samudra. Gangguan ini dapat
berupa gempa bumi, pergeseran lempeng, atau gunung meletus. Tsunami juga dapat
dipicu oleh bermacam-macam gangguan (disturbance) berskala besar
terhadap air laut, misalnya gempa bumi, pergeseran lempeng, meletusnya gunung
berapi di bawah laut, atau tumbukan benda langit. Tsunami dapat terjadi apabila
dasar laut bergerak secara tiba-tiba dan mengalami perpindahan vertikal.
Hal
ini tentunya telah membawa dampak yang buruk terhadap ekosistem pesisir yaitu
lamun, mangrove dan terumbu
karang. Penulis
melakukan penelitian berdasarkan Hasil
Ekspedisi Zooxanthellae VII bahwa saat sebelum
tsunami melaporkan tingkat penutupan
karang hidup di Pulau Weh berada pada
tingkatan sedang. Bahkan tutupan karang di beberapa tempat mencapai 75 % atau pada tingkat baik sekali
(Estradivari, 2005). Pengamatan visual juga dilakukan oleh Lembaga Fauna dan
Flora Internasional (FFI) pasca tsunami mendapatkan bahwa terumbu karang yang rusak karena tsunami lebih
banyak berada di kedalaman 3 m. Karena tsunami, kondisi kecerahan menurun dan banyak
terdapat retakan karang, karang terbalik dan hancurnya kondisi
pantai. Lebih lanjut 60% lahan mangrove
di Pulau Weh hancur total dari
total luasan mangrove 74 ha. Hasil survei
yang dilakukan oleh Baird et al.
(2005) menyimpulkan bahwa pengaruh
gempa pada 26 Desember 2006 terlihat jelas di bagian timur laut Pulau Simeulue sedangkan
di bagian utara Aceh tidak tidak terlihat adanya pengaruh. Jadi, Dalam rangka
program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan Sumatra
Utara pasca tsunami
dan gempa bumi sebagai bagian dari kegiatan COREMAP II maka penulis melakukan kegiatan pengkajian kondisi
ekologis melalui Rapid Resources
Assesment (RRA).
TUJUAN
Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk
mendapatkan gambaran tentang kondisi geomorfologi dan ekosistem
pantai termasuk terumbu karang pasca satu tahun bencana tsunami. Diharapkan,
data yang tersedia dapat menjadi masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan
program rehabilitasi serta pemberdayaan masyarakat pesisir.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan
pengkajian terhadap dua lokasi yakni di daerah terumbu karang di
Pulau Nias (Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten
Nias) dan Pulau Simeulue (Kabupaten Simeulue) yang
diprediksi mengalami perubahan pasca bencana alam tsunami dan gempa bumi pada akhir 2004 sampai dengan awal 2005 (Lihat Gambar 1 dan 2).
Gambar 1. Stasiun penelitian di kawasan perairan Estuari Kapuas Kecil,
Kalimantan Barat
(KB1: Stasiun penelitian
Kalimantan Barat).
Gambar 2. Lokasi Penelitian di
Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh
Darussalam.
Adapun langkah-langkahnya dalam
menentukan lokasi yakni Pada tahap pertama, lokasi dipilih berdasarkan atas informasi
kebutuhan dari masing-masing
kabupaten yang ada serta jumlah
waktu survei yang tersedia. Selanjutnya di setiap wilayah yang dipilih,
ditentukan posisi titik-titik sampling dengan menggunakan peta wilayah NKRI
baku (peta indopul) (sumber Peta: Bakosurtanal & BRKP, 2003) dan citra Landsat (format geotiff) yang tersedia. Koordinat titik- titik tersebut
kemudian dicatat. Penentuan
titik sampling ini dilakukan secara acak namun demikian diharapkan bisa
memberikan gambaran yang cukup
mewakili. Dalam
penelitianya ini penulis melakukan
penentuan titik sampling secara acak sehingga gambaran yang dihasilkan
hanya mewakili sedikit dari beberapa lokasi. Berdasarkan jurnal dadan referensi
lainya yang kami dapatkan mengenai akibat dari tsunami biasanya penulis
menentukan titik sampling pada beberapa lokasi dan stasiun yang berbeda serta
banyak stasiun yang dilakukan pengambilan titik sampling sehingga bisa
didapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai kondisi diwilayah perairan yang
dilakukan pengambilan sampling dan data yang didapatkan lebih banyak. Hadikusumah
(2011) penelitian oseanografi fisika telah dilakukan dimulai dari selat malaka
sampai samudera hindia dibagian barat provinsi nangro aceh darussalam (NAD)
pada akhir musim tenggara dan awal musim peraliahan kedua (agustus sampai
september 2006). Jumlah distasiun oseanografi sebanyak 29 stasiun.
Pengambilan Data
Survei terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode Rapid Resources Assessment (RRA) dan Line Intercept Transect (LIT) yang mengacu pada
metode yang baku atau pernah dikerjakan dan selanjutnya disesuaikan dengan
kondisi lapangan terutama pada metode
LIT (English et al., 1997). Dengan dua metode ini penulis
dapat membandingkan hasil perolehan data yang didapatkan. Selain itu juga dilakukan pengukuran kondisi perairan
berupa suhu, pH dan salinitas dengan menggunakan pengukur suhu, pH (Hanna Handheld) dan refraktometer. Hal ini dapat membantu penulis dalam
menganalisa hasil yang diperoleh dan dapat menyimpulkan kondisi perairan pasca
bencana tsunami 2004.namun penulis tidak menyebutkan bahwa dalam penelitianya
menggunakan dua data berupa data primer dan sekunder.
Didapatkan referensi bahwa
pengukuran parameter meteorologi laut terdiri dari kecepatan dan arah angin,
suhu udara, kelembapan relatif, dan tekanan udara dengan menggunakan
meteorologi kit sistem aandera. Pengukuran suhu, salinitas, kecerahan,
kekeruhan, klorofil A dan oksigen sekaligus direkam, dengan menggunakan CTD
Model SBE911 pls. Kondisi parameter fisika tahun tersebut akan dibandingkan dengan
tahun 1998 yakni pada 10-11 oktober (Hadikusumah, 2011). Dengan perbedaan
parameter pengukuran dan alat yang digunakan maka tingkat ketepatan, kecepatan
dan keakuratan data yang didapat berbeda.
Pada metode RRA, peneliti melakukan penyelaman pada permukaan selama
kira-kira 5 menit untuk mengamati kondisi terumbu
karang. Pada metode LIT digunakan garis transek sepanjang
20 m dengan pengulangan tiga
kali. Dengan demikian yang diamati adalah kondisi substrat di transek
horisontal pada posisi 0-20 m, 30-50
m dan 60-80 m. Pemilihan panjang transek
dan jumlah pengulangan ini didasarkan pada
kondisi substrat yang relatif homogen sehingga penggunaan transek yang lebih
panjang dengan ulangan yang lebih
banyak akan berpengaruh pada efisiensi waktu. Transek diletakkan
pada kedalaman bervariasi
antara 2 – 5 meter. Substrat dasar
dikategorikan berdasarkan bentuk
karang (LIFEFORM). Penggulangan ini dapat membantu
penulis dalam keakuratan mendapatkan data penelitianya. Dalam kegiatan ini akan diperkenalkan
dua metode yang umum dipakai yaitu, metode RRA sederhana (Metode Manta Tow )
Metode Transek garis (Line Intercept transect/LIT) merupakan metode yang
digunakan untuk mengestimasi penutupan karang dan penutupan komunitas bentos
yang hidup bersama karang. Metode ini cukup praktis, cepat dan sangat sesuai
untuk wilayah terumbu karang di daerah tropis. Pengambilan data dilakukan pada
umumnya di kedalaman 3 meter dan 10 meter, sehingga bagi tim kerja yang
terlibat dalam metode ini sebaiknya memiliki keterampilan menyelam yang baik.
Sedangkan Metode Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan
cara pengamat di belakang perahu kecil bermesin dengan menggunakan tali sebagai
penghubung antara perahu dengan pengamat. Dengan kecepatan perahu yang tetap
dan melintas di atas terumbu karang dengan lama tarikan 2 menit, pengamat akan
melihat beberapa obyek yang terlintas serta nilai persentase penutupan karang
hidup (karang keras dan karang lunak) dan karang mati. Data yang diamati
dicatat pada tabel data dengan menggunakan nilai kategori atau dengan nilai
persentase bilangan bulat. Untuk tambahan informasi yang menunjang pengamatan
ini, dapat pula diamati dan dicatat persen penutupan pasir dan patahan karang
serta obyek lain (Kima, Diadema dan Acanthaster) yang terlihat dalam lintasan
pengamatan.
Data yang didapatkan dari kedua metode ini kemudian dianalisa
dengan
menggunakan
rumus
sebagai berikut :
Prosentase Tutupan = Panjang total kategori x 100 % Panjang Transek
Kriteria tutupan karang mengikuti (Gomez &
Yap, 1988) seperti tertera dalam
tabel 1.
Tabel 1.
Persentase tutupan karang
Persentase penutupan Kisaran(%)
0 – 24,9 Buruk
25 – 49,9
Sedang
50 – 74,9
Baik
75 – 100 Sangat
baik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Terumbu Karang di Pulau Nias pada kategori buruk.
Selaras dengan hasil RRA, hasil rata-rata pengukuran LIT di terumbu karang
perairan Pulau Nias juga menggambarkan kondisi buruk (Gambar 5). Lokasi pengamatan
meliputi empat (4)
lokasi di Pulau Nias yaitu Teluk Legundi bagian selatan, Sirombu bagian
barat, Lahewa bagian barat-utara dan Sumabawa bagian selatan-timur (Gambar 1).
Di pulau ini terjadi perubahan garis pantai baik secara horisontal (panjang
rataan) maupun vertikal (pengangkatan) (Gambar 3). Perubahan panjang rataan
(horisontal) di pulau ini sebesar 30 sampai 260 meter, sedangkan maksimum
pengangkatan (vertikal), termasuk pengangkatan terumbu karang mencapai lebih
dari 2 meter (PRWLSDNH, 2006).
Kondisi terumbu karang di pulau Pulau Simeulue meliputi
lima (5) lokasi. Lokasi-lokasi tersebut
adalah Teluk Sinabang pada sisi selatan–timur Pulau Simeulue, Teluk Sibigo pada
sisi timur, Teluk Dalam Alafan pada sisi barat-utara, Simeulue Tengah pada sisi
barat dan Teupah pada sisi selatan-barat (Gambar 2). Dari 5 lokasi yang ada di
Pulau Simeulue ini, didapatkan bahwa komponen karang mati yang ditumbuhi alga
masih mendominasi lokasi survei dengan kisaran 25 – 55 %. Prosentasi komponen
karang mati yang ditumbuhi alga berturut-turut adalah 25 % di Sinabang, 26,7 %
di Teupah Selatan, 43 % di Sibigo, 48,8 % di Alafan dan yang tertinggi di
Simeulue Tengah 55%. Komponen pasir yang cukup tinggi hanya terdapat di
Sinabang (46,3%) dan Sibigo (25,4%) (Tabel3). Prosentasi Rubble yang cukup
tinggi berturut-turut ada di Alafan (21,8%), Teupah Selatan (18,3%) dan Sibigo
(13%).
Penulis membahas hasil yang
didapatkan berdasarkan kedua pengamatan baik LIT dan RRA serta penulis juga
memaparkan jenis terumbu karang apa saja yang diamati dan bagaimana kondisinya.
Namun penulis tidak membandingkan kondisi terumbu karang saat sebelum dan
sesudah pasca bencana tsunami. Penulis hanya memaparkan presentase hasil
penelitianya.
KESIMPULAN
Penulis telah menarik kesimpulan
dari tujuan penelitianyya dan penulis mendapatkan gambaran tentang kondisi geomorfologi dan ekosistem pantai
termasuk terumbu karang pasca satu tahun bencana tsunami. Terry L. Kepel & M. Abrar (2011 ) menyatakan bahwa kejadian gempa dan tsunami memberikan pengaruh terhadap
sebaran dan populasi karang terutama di sepanjang pesisir barat Pulau Nias dan
Simeulue. Satu tahun setelah kejadian gempa dan tsunami di perairan Pulau Nias
dan Simeulue kondisi sebagian besar terumbu karang (7 dari 9 lokasi) masih
dalam kondisi buruk dengan kisaran prosentase sebesar 9,6
– 36,7%. Terumbu
karang dengan kondisi sedang
hanya terdapat di 2 lokasi dari 9 lokasi penelitian yaitu Sumabawa di Nias
sebesar 41,3% dan Teupah Selatan di Simeulue sebesar 36,7%. Namun demikian,
terlihat adanya pemulihan terumbu karang secara
alami melalui peningkatan
tutupan karang hidup dan
penambahan populasi (rekruitmen) karang muda dalam ukuran relatif kecil
(rata-rata 3-5 cm). Pemulihan kondisi ini secara umum didukung oleh kondisi
perairan yang relatif baik dengan kisaran suhu, salinitas, pH dan oksigen
terlarut yang sesuai untuk pertumbuhan karang serta kondisi dasar laut yang
menyediakan subsrat yang cocok.
DAFTAR
PUSTAKA
Baird, A, dkk. 2005. Acehnese Reefs In
The Wake Of Asian Tsunami. Current Biology Vol.15
Estradivari, Susilo, N. &
Yusri, S. 2005. Prosiding Inisiatif Bersama Untuk Peduli Penilaian Terumbu Karang Aceh Dan Sumatra
Utara. The Indonesian Coral reef Working Group (ICRWG).
Hadikusumah, lekalete J.D. 2013. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. Kenaikan Lapisan Termoklin Di
Perairan Nangro Aceh Darussalam Akibat Tsunami 2004. Vol. 3,
No. 1, Hal. 115-133.
Kepel, T. L. & Abrar, M.
2013. Kondisi
Terumbu Karang Di Kabupaten Nias Dan Kabupaten Simeulue Pasca Satu Tahun Mega Tsunami 2004. J.Segara Vol. 9 No. 1 Agustus 2013.
Hal 13-21
PRWLSDNH. 2006. Pengkajian
Kondisi Ekologi Dengan Rra Nias- Simeulue . Laporan. Kerjasama Antara
Satker
Rehabilitasi Dan Pengelolaan Terumbu Karang. Direktorat Jendral Kelautan Pesisir dan Pulau- Pulau
Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.